Senin, 10 Juni 2013

JANGAN MERASA BENAR SENDIRI

بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم

Ditulis Oleh
Abu Yahya Badrussalam Lc Banyak orang ketika anda tegur kesalahan yang ia lakukan berkilah dengan mengatakan : "sudahlah, jangan merasa benar sendiri !" sehingga menjadi pertanyaan pada benak banyak orang, apakah perkataan tersebut berasal dari wahyu ataukah hanya sebatas kilah yang tak beralaskan pada dalil ? Tentunya hal ini harus kita cermati secara seksama dengan hati yang dingin apakah ada ayat atau hadits atau pendapat para ulama yang mengatakan dengan perkataan tersebut. Cobalah kita buka surat An-Nisaa : 59 "Artinya : Jika kamu berbeda pendapat tentang suatu perkara maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rosul (assunnah) jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian.." 
 
 
 Ayat ini dengan tegas mengatakan bahwa setiap perselisihan wajib 
dikembalikan kepada Allah dan RosulNya, Allah tidak mengatakan :

"Jika kamu berselisih janganlah kamu merasa benar sendiri, atau 
kembalikan pada pendapat masing-masing. Akan tetapi Allah menyuruh 
untuk mengembalikannya kepada Al Qur'an dan sunnah, ini menunjukkan 
bahwa yang benar hanyalah yang berdasarkan Al Qur'an dan sunnah"

Para sahabat senantiasa menyalahkan orang-orang yang mereka pandang 
salah dan tidak pernah diantara mereka yang mengatakan, " jangan 
merasa benar sendiri !"

Seperti dalam suatu kisah yang diriwayatkan oleh Al-Lalikai dalam 
kitab Syarah I'tiqod Ahlissunnah dengan sanad yang shohih dan 
Addarimi dalam sunannya bahwa Ibnu Mas'ud mendatangi suatu kaum yang 
berdzikir berjama'ah dengan memakai kerikil dan berkata :"Celaka 
kamu Umat Muhammad betapa cepatnya kebinasaan kalian….apakah kamu 
merasa diatas millah Muhammad ataukah kamu hendak membuka pintu 
kesesatan ? kemudian mereka berkata : "sesungguhnya kami 
menginginkan kebaikan" . Beliau berkata : "Berapa banyak orang yang 
menginginkan kebaikan tapi ia tidak mendapatkannya (karena caranya 
salah, pen)". dalam kisah tersebut tidak dikatakan : jangan kamu 
merasa benar sendiri.

Demikian pula para Tabi'in, disebutkan dalam kisah yang diriwayatkan 
oleh Al Baihaqi dalam sunannya,Abdurrozaq , Ad Darimi dan Ibnu Nashr 
bahwa Sa'id bin Musayyib melihat seorang laki-laki sholat setelah 
terbit fajar lebih dari dua roka'at lalu Sa'id melarangnya, 
kemudian orang itu berkata : " wahai Abu Muhammad, apakah Allah 
akan mengadzab saya gara-gara sholat ? beliau menjawab "Tidak, tapi 
Allah akan mengadzabmu karena menyalahi sunnah". Tidak pula 
dikatakan padanya : jangan merasa benar sendiri.

Demikian pula Tabi'ut Tabi'in dan para ulama setelahnya. Senantiasa 
mereka membantah pendapat yang mereka pandang lemah atau salah tapi 
tidak ada satupun dari mreka yang mengatakan " jangan merasa benar 
sendiri". Disebutkan dalam kisah yang shohih bahwa Imam Asy Syafi'i 
mendebat Imam Ahmad dalam masalah hukum orang yang meninggalkan 
sholat, dimana Imam Ahmad berpendapat bahwa orang yang meninggalkan 
sholat kafir murtad dari agama Islam sedangkan Imam Asy Syafi'i 
tidak mengkafirkannya, tapi Imam Asy Syafi'i tidak pernah 
mengatakan : " jangan merasa benar sendiri" tapi yang dikatakan oleh 
Imam Asy Syafi'i adalah : "Tidaklah aku berdialog dengan seorangpun 
kecuali aku berkata : Ya Allah alirkanlah kebenaran pada lisan dan 
hatinya, jika kebenaran itu bersamaku,ia mau mengikutiku dan jika 
kebenaran itu ada padanya, aku akan mengikutinya" .

Mereka juga menulis kitab-kitab bantahan terhadap bid'ah dan 
kesesatan, Imam Ahmad menulis kitab Arrodd alal Jahmiyyah (bantahan 
terhadap Jahmiyyah), Abu Dawud punya kitab Arrodd 'alal qodariyyah 
(bantahan terhadap Al Qodariyyah), Ad Darimi menulis kitab Roddu 
Utsman Ad Darimi 'ala Bisyir Al Marisi Adl Dlooll (bantahan Utsman 
Ad Darimi terhadap Bisyir Al Marisi yang sesat) dan banyak lagi 
kitab-kitab bantahan lainnya. Tidak ada satupun diantara mereka yang 
berkata : "jangan merasa benar sendiri". Coba anda renungkan 
perkataan Abu Isma'il Abdullah bin Muhammad Al Anshori "Pedang 
dihadapkan kepadaku sebanyak lima kali bukan untuk menyuruhku agar 
keluar dari keyakinanku, akan tetapi dikatakan kepadaku : "Diamlah 
dari orang yang menyelisihmu !! aku tetap menjawab "Aku tidak akan 
pernah diam .."

Merasa benar adalah fitrah manusia, buktinya jika engkau bertanya 
kepada orang yang mengatakan " Jangan merasa benar 
sendiri" : "Apakah anda merasa benar dengan perkataan tersebut ? 
tentu ia berkata : "Ya", Dia sendiri merasa benar sendiri dengan 
pendapat tersebut lalu ia melarang orang lain merasa benar sendiri, 
jelas ini kontradiktif yang fatal.

Meluruskan Pemahaman
Sebagian orang ada yang berdalil dengan sebuah kisah yang 
diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim bahwa Nabi shalallahu 'alaihi 
wa sallam bersabda : "Janganlah kamu sholat kecuali di Bani 
Quroidzoh, kemudian ditengah jalan masuk waktu ashar, maka sebagian 
mereka berkata "Kita sholat disana". Sebagian lagi berkata : "Kita 
sholat dijalan, beliau tidak bermaksud demikian". Lalu disebutkan 
hal itu kepada Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam tapi beliau tidak 
mencela seorangpun dari mereka. 

Al Hafidz ibnu Hajar dalam fathul Bari (7/409-410)
berkata, "Berdalil dengan kisah ini untuk mengatakan bahwa setiap 
mujtahid itu benar adalah pendalilan yang tidak jelas, hadist ini 
hanya menunjukkan bahwa beliau tidak mencela orang yang memberikan 
kesungguhan untuk berijtihad". Hal ini menunjukkan kepada dua 
perkara:

Pertama : Pendapat yang mengatakan bahwa setiap mujtahid itu benar 
adalah pendapat yang bathil, karena Nabi shalallahu 'alaihi wa 
sallam dalam hadist ijtihad (yaitu hadits: "Apabila Hakim berijtihad 
kemudian benar maka ia mendapat dua pahala dan apabila salah maka ia 
mendapatkan satu pahala"). Beliau shalallahu 'alaihi wa sallam hanya 
menyebutkan benar atau salah tidak mengatakan bahwa dua-duanya 
benar.

Kedua : Bahwa perkara ini khusus para mujtahid, adapun bila telah 
nyata bahwa mujtahid itu salah dalam ijtihadnya maka haram kita 
mengikuti kesalahannya tersebut.

Sebagian lagi ada yang berhujjah dengan hadits : "Perselisihan umatku
adalah rahmat".

Padahal hadist ini dinyatakan oleh para ahli hadits sebagai hadits 
yang tidak ada asal usulnya. lihat silsilah dlo'ifah I/76-85) Ibni 
Hazm berkata : " ini adalah perkataan yang sangat rusak, sebab jika 
perselisihan itu rahmat berarti persatuannya adalah adzab, jelas ini 
tidak akan di katakan oleh seorang muslimpun, karena tidak ada 
kecuali berselisih atau bersatu " (Al Ihkamul fi ushulil fiqih 
4/64). 

Bahkan secara akalpun pernyataan bahwa ikhtilaf (perselisihan) 
adalah rahmat adalah bathil, sebab kita semua tahu bahwa tujuan 
musyawarah adalahlah untuk mencari mufakat, bila perselisihan itu 
rahmat, maka seharusnya musyawarah tujuannya adalah supaya 
berselisih karena ia adalah rahmat. Dan ini jelas batil bagi orang 
yang berakal.

Sebagian lagi ada yang berkata :"Sudahlah selama itu masih di 
perselisihkan oleh para ulama tidak perlu kita merasa benar sendiri, 
sehingga perselisihan ulama dijadikan hujjah untuk membolehkan 
pendapatnya, padahal Allah subhanahu wata'ala menyuruh kita untuk 
mencari pendapat yang lebih dekata kepada Al Qur'an dan As sunnah. 
Pendapat ini telah disanggah oleh para ulama di antaranya adalah 
Imam Ibnu Abdil Barr, beliau berkata "Perselisihan ulama bukan 
hujjah menurut seluruh para ulama yang kami ketahui" (Jami ul bayan 
2/229)

Al Khaththabi berkata : "Ikhtilaf ulama bukan hujjah tapi 
menjelaskan sunnah adalah hujjah dari zaman dahulu sampai sekarang". 
(A'lamul Hadits 3/2092).

Ibnu Taimiyah berkata, "Tidak boleh seorang pun berhujjah dengan 
pendapat seseorang dalam perkara yang masih di perselisihkan, karena 
hujjah itu hanyalah nash,ijma dan dalil yang diambil dari keduanya, 
bukan diambil dari pendapat ulama karena pendapat ulama dijadikan 
hujjah bila sesuai dengan dalil syari'at dan tidak boleh dijadikan 
hujjah untuk menolak dalil syari'at ". (Majmu fatawa 26/202-203).

Demikian pula para ulama ushul fiqih telah membahas suatu bab ilmu 
ushul fiqih yang bernama bab Tarjih yaitu tata cara memilih pendapat 
yang paling kuat,bila sebatas perselisihan ulama dapat dijadikan 
alasan tentulah pembahasan maslah tarjih tidak akan ada manfaatnya.

Bahkan berhujjah dengan perselisihan para ulama pada zaman 
sekarang di gunakan oleh aliran sesat yang bernama JIL (Jaringan 
Islam Liberal) dimana mereka selalu membawakan pendapat ulama yang 
sesuai dengan seleranya. Hal ini menunjukkan bahwa berhujjah dengan 
perselisihan ulama adalah membuka pintu bagi orang-orang sesat untuk 
berkilah dan membenarkan pendapatnya. Sungguh benar perkataan 
seorang ulama salaf : " Barang siapa yang mencari-cari rukhsoh para 
ulama ia akan menjadi zindiq".

Jadi merasa benar dengan pendapatnya yang jelas dalilnya lebih-lebih 
bila didukung oleh ijma ulama adalah sebuah keharusan sedangkan 
merasa benar dengan kesesatan adalah kesalahan fatal. Adapun dalam 
perkara ijtihadi yang tidak ada dalilnya yang gamblang maka kita 
ikuti yang paling kuat dalilnya tanpa menyesatkan yang lainnya. 

Wallahu alam.

Rujukan
Zajrul Matahawin
Ilmu Ushul Bida',
Majmu Fatawa dll. 
Ditulis Oleh
Abu Yahya Badrussalam Lc
Diketik ulang dari Buletin At-Tauhid.

Walhamdulillaah
ٱلْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ ٱلْعَٰلَمِين

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih telah berkunjung dan silahkan berkomentar..
semoga bermanfaat

toko Online

Tokoina - Pusat Jual Beli dan Info Peluang Usaha
Hosting Gratis