Sejak jaman dahulu, bangsa
Yahudi memang dikenal sebagai ahli makar. Pembunuhan terhadap para Nabi
dan kekejian lainnya tidak lepas dari tangan-tangan mereka. Berbagai
peperangan yang muncul di jaman Rasulullah juga lahir dari
persekongkolan jahat mereka. Salah satunya adalah Peperangan Bani
Nadhir.
Sebelum Rasulullah berhijrah
ke Madinah, sudah ada tiga kabilah besar bangsa Yahudi yang menetap di
negeri tersebut. Mereka adalah Bani Qainuqa’, Bani Nadhir dan Bani
Quraizhah. Masing-masing kabilah ini mempunyai sekutu dari kalangan
penduduk asli Madinah yaitu Aus dan Khazraj. Bani Qainuqa’ dan Bani
Nadhir bersekutu dengan Khazraj, sedangkan Bani Quraizhah menjadi sekutu
Aus.
Setiap kali terjadi peperangan
di antara mereka dengan sekutu masing-masing, orang-orang Yahudi
mengancam kaum musyrikin (Aus dan Khazraj) ketika itu dengan mengatakan:
“Sudah tiba masanya datang nabi kami dan kami akan memerangi kalian
seperti memerangi ‘Ad dan Iram.”
Ketika muncul Rasulullah dari
kalangan Quraisy, berimanlah Aus dan Khazraj. Sementara orang-orang
Yahudi justru kafir kepada beliau. Tentang merekalah turunnya firman
Allah :
وَلَمَّا
جَاءَهُمْ كِتَابٌ مِنْ عِنْدِ اللهِ مُصَدِّقٌ لِمَا مَعَهُمْ وَكَانُوا
مِنْ قَبْلُ يَسْتَفْتِحُونَ عَلَى الَّذِينَ كَفَرُوا فَلَمَّا جَاءَهُمْ
مَا عَرَفُوا كَفَرُوا بِهِ فَلَعْنَةُ اللهِ عَلَى الْكَافِرِينَ
“Dan setelah datang kepada
mereka Al-Qur’an dari Allah yang membenarkan apa yang ada pada mereka,
padahal sebelumnya mereka biasa memohon (kedatangan Nabi) untuk mendapat
kemenangan atas orang-orang kafir, maka setelah datang kepada mereka
apa yang telah mereka ketahui, mereka lalu ingkar kepadanya. Maka laknat
Allah-lah atas orang-orang yang ingkar itu.” (Al-Baqarah: 89)
Bani Nadhir adalah salah satu
kabilah terbesar bangsa Yahudi yang bermukim di sebelah selatan Madinah
sebelum kedatangan Rasulullah. Setelah Nabi tiba di Madinah, mereka pun
kafir kepada beliau bersama orang-orang kafir Yahudi lainnya.
Rasulullah sendiri melakukan perjanjian dengan seluruh golongan Yahudi
yang menjadi tetangga beliau di Madinah.
Sebab-sebab Terjadinya Peperangan
Ketika perang Badr usai, enam bulan setelah peristiwa besar tersebut,[1]
Rasulullah menemui dan berbicara dengan mereka agar mereka membantu
beliau dalam urusan diyat (tebusan) orang-orang Bani Kilab yang dibunuh
‘Amr bin Umayyah Adl-Dlamari. Merekapun berkata: “Kami akan bantu, wahai
Abul Qasim (Rasulullah, red.). Duduklah di sini sampai kami selesaikan kebutuhanmu!”
Kemudian sebagian mereka
memencilkan diri dari yang lain, dan syaitan membisikkan kepada mereka
‘kehinaan’ yang telah ditakdirkan atas mereka. (Dengan bisikan itu)
mereka mencoba melakukan intrik keji untuk membunuh Nabi. Salah seorang
dari mereka berkata: “Siapa di antara kamu yang memegang penggilingan
ini lalu naik ke loteng dan melemparkannya ke kepalanya sampai remuk?”
Orang paling celaka dari mereka, yaitu ‘Amr bin Jihasy berkata: “Aku.”
Namun Sallam bin Misykam
berkata kepada mereka: “Jangan lakukan. Demi Allah, pasti Dia akan
membongkar apa yang kalian rencanakan terhadapnya. Dan sungguh ini
artinya melanggar perjanjian antara kita dengannya.”
Lalu datanglah Jibril
menceritakan persekongkolan busuk mereka. Maka beliaupun bangkit dengan
cepat dan segera menuju ke Madinah. Para shahabat pun menyusul beliau
dan berkata: “Anda bangkit tanpa kami sadari?”
Beliau pun menceritakan rencana busuk orang-orang Yahudi itu terhadap beliau.
Setelah itu Rasulullah
mengirim utusan kepada mereka untuk memerintahkan: “Keluarlah kamu dari
Madinah dan jangan bertetangga denganku di sini. Aku beri waktu sepuluh
hari, siapa yang masih kedapatan di Madinah setelah hari itu, tentu aku
tebas lehernya.”
Akhirnya mereka mempersiapkan
diri selama beberapa hari. Datanglah kepada mereka gembong Munafik
‘Abdullah bin Ubay bin Salul, mengatakan: “Janganlah kalian keluar dari
rumah kalian. Karena saat ini aku memiliki sekitar dua ribu pasukan yang
siap bertahan bersama di benteng kalian ini. Mereka siap mati membela
kalian. Bahkan Bani Quraizhah serta para sekutu kalian dari Ghathafan
tentu akan membela kalian.”
Akhirnya Huyyay bin Akhthab (pemimpin Bani Nadhir, red.)
tergiur dengan bujukan ini dan mengutus seseorang kepada Rasulullah,
mengatakan: “Kami tidak akan keluar dari kampung (rumah-rumah) kami,
berbuatlah semaumu.”
Rasulullah dan para shahabat bertakbir, lalu berangkat menuju perkampungan mereka. ‘Ali bin Abi Thalib membawa bendera beliau.
Merekapun mengepung benteng
Yahudi ini dan melemparinya dengan panah dan batu. Ternyata Bani
Quraizhah meninggalkan Bani Nadhir, bahkan sekutu mereka Ibnu Ubay dan
Ghathafan juga mengkhianati mereka.
Rasulullah mengepung mereka selama enam hari, beliau menebang pokok-pokok (pohon) kurma milik mereka dan membakarnya.
Kemudian orang-orang Yahudi
itu mengutus seseorang untuk memohon: “Kami akan keluar dari Madinah.”
Maka beliau memutuskan, mereka keluar dari kota itu dengan hanya membawa
anak-cucu mereka serta barang-barang yang dapat diangkut seekor unta
kecuali senjata. Dari sinilah, Rasulullah dan para shahabat kemudian
memperoleh harta dan senjata.
Dalam rampasan perang dari Bani Nadhir ini, khusus bagi Rasulullah dan para pengganti beliau (para pemimpin, khalifah-pent.)
demi kepentingan kaum muslimin, seperlima bagiannya tidak dibagi.
Karena Allah telah memberikannya kepada beliau sebagai fai-i, tanpa kaum
muslimin mengerahkan seekor kuda ataupun unta untuk mendapatkannya.
Akhirnya Rasulullah mengusir
mereka termasuk pembesar mereka, Huyyay bin Akhthab, ke wilayah Khaibar.
Beliau menguasai tanah dan rumah-rumah berikut senjata. Ketika itu
diperoleh sekitar limapuluh perisai, limapuluh buah topi baja, dan 340
bilah pedang. Inilah kisah mereka yang diuraikan oleh sejumlah ahli
sejarah.
Al-Imam Bukhari meriwayatkan tentang hal ini:
عَنْ
عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: كَانَتْ أَمْوَالُ بَنِي النَّضِيرِ
مِمَّا أَفَاءَ اللهُ عَلَى رَسُولِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
مِمَّا لَمْ يُوجِفْ الْمُسْلِمُونَ عَلَيْهِ بِخَيْلٍ وَلاَ رِكَابٍ،
فَكَانَتْ لِرَسُولِ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَاصَّةً
وَكَانَ يُنْفِقُ عَلَى أَهْلِهِ نَفَقَةَ سَنَتِهِ ثُمَّ يَجْعَلُ مَا
بَقِيَ فِي السِّلاَحِ وَالْكُرَاعِ عُدَّةً فِي سَبِيلِ اللهِ
Dari ‘Umar radliyallahu
‘anhu, katanya: “Harta Bani Nadhir merupakan harta fai-i yang Allah
berikan kepada Rasul-Nya , tanpa kaum muslimin mengerahkan kuda dan unta
untuk memperolehnya. Maka harta itu milik Rasulullah secara khusus. Dan
beliau menginfakkannya untuk keluarganya sebagai nafkah selama setahun,
kemudian sisanya berupa senjata dan tanah sebagai persiapan bekal
(jihad) di jalan Allah.”
Beberapa Pelajaran dari Kisah Ini
Berkaitan dengan peristiwa ini Allah turunkan awal surat Al-Hasyr (1-5) dan ditegaskan pula oleh Al-Imam Bukhari dalam Shahih-nya (Kitab Al-Maghazi dan Tafsir Al-Qur’an) dari Ibnu ‘Abbas:
عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ قَالَ: قُلْتُ لابْنِ عَبَّاسٍ سُورَةُ الْحَشْرِ، قَالَ: قُلْ سُورَةُ النَّضِيرِ
Dari Sa’id bin Jubair, dia
berkata: “Aku berkata kepada Ibnu ‘Abbas: ‘Surat Al-Hasyr.’ Kata
beliau: “Katakanlah: ‘Surat An Nadhir ’.”
Allah berfirman:
سَبَّحَ
لِلَّهِ مَا فِي السَّمَوَاتِ وَمَا فِي اْلأَرْضِ وَهُوَ الْعَزِيزُ
الْحَكِيمُ. هُوَ الَّذِي أَخْرَجَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ
الْكِتَابِ مِنْ دِيَارِهِمْ لأَوَّلِ الْحَشْرِ مَا ظَنَنْتُمْ أَنْ
يَخْرُجُوا وَظَنُّوا أَنَّهُمْ مَانِعَتُهُمْ حُصُونُهُمْ مِنَ اللهِ
فَأَتَاهُمُ اللهُ مِنْ حَيْثُ لَمْ يَحْتَسِبُوا وَقَذَفَ فِي قُلُوبِهِمُ
الرُّعْبَ يُخْرِبُونَ بُيُوتَهُمْ بِأَيْدِيهِمْ وَأَيْدِي
الْمُؤْمِنِينَ فَاعْتَبِرُوا يَا أُولِي اْلأَبْصَارِ. وَلَوْلاَ أَنْ
كَتَبَ اللهُ عَلَيْهِمُ الْجَلاَءَ لَعَذَّبَهُمْ فِي الدُّنْيَا وَلَهُمْ
فِي اْلأَخِرَةِ عَذَابُ النَّارِ. ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ شَاقُّوا اللهَ
وَرَسُولَهُ وَمَنْ يُشَاقِّ اللهَ فَإِنَّ اللهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ. مَا
قَطَعْتُمْ مِنْ لِينَةٍ أَوْ تَرَكْتُمُوهَا قَائِمَةً عَلَى أُصُولِهَا
فَبِإِذْنِ اللهِ وَلِيُخْزِيَ الْفَاسِقِينَ
“Bertasbih kepada Allah
apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi dan Dia-lah Yang Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana. Dia-lah yang mengeluarkan orang-orang kafir
di antara ahli Kitab dari kampung-kampung mereka pada saat pengusiran
yang pertama kali. Kamu tiada menyangka, bahwa mereka akan keluar dan
merekapun yakin, bahwa benteng-benteng mereka akan dapat mempertahankan
mereka dari (siksaan) Allah. Maka Allah mendatangkan kepada mereka
(hukuman) dari arah yang tidak mereka sangka-sangka. Dan Allah
membenamkan rasa takut ke dalam hati mereka; mereka musnahkan
rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan orang-orang
yang beriman. Maka ambillah (peristiwa itu) sebagai pelajaran, hai
orang-orang yang mempunyai pandangan. Dan jikalau tidaklah karena Allah
telah menetapkan pengusiran terhadap mereka benar-benar Allah mengazab
mereka di dunia. Dan bagi mereka di akhirat azab neraka. Yang demikian
itu adalah karena sesungguhnya mereka menentang Allah dan Rasul-Nya.
Barangsiapa menentang Allah, maka sesungguhnya Allah sangat keras
hukuman-Nya. Apa saja yang kamu tebang dari pohon kurma (milik
orang-orang kafir) atau yang kamu biarkan (tumbuh) berdiri di atas
pokoknya, maka (semua itu) adalah dengan izin Allah; dan karena Dia
hendak memberikan kehinaan kepada orang-orang fasik.”
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di menerangkan makna ayat ini dalam tafsirnya sebagai berikut:
Allah mengawali surat ini
dengan penjelasan bahwa semua yang ada di langit dan bumi bertasbih
memuji Rabbnya, mensucikan-Nya dari semua perkara yang tidak sesuai
dengan kemuliaan-Nya, menghambakan diri dan tunduk kepada kebesaran-Nya.
Karena sesungguhnya Allah adalah Dzat Yang Maha Perkasa lagi memaksa
segala sesuatu. Tidak ada satupun yang dapat menghalangi-Nya, tidak ada
satupun yang sulit bagi-Nya. Allah adalah Dzat Yang Maha Mempunyai
hikmah, dalam penciptaan dan perintah-Nya. Allah tidak menciptakan
segala sesuatu ini dengan sia-sia. Dan Dia tidak menetapkan syariat yang
tidak mengandung kemaslahatan.
Allah tidak berbuat kecuali
sesuai dengan hikmah-Nya. Termasuk di dalamnya adalah pertolongan-Nya
kepada Rasul-Nya terhadap orang-orang kafir ahli kitab dari Bani Nadhir
yang melanggar perjanjian dengan Rasul-Nya. Maka Allah keluarkan mereka
dari rumah dan tempat tinggal yang mereka cintai.
Pengusiran mereka ini
merupakan pengusiran pertama yang ditetapkan Allah atas mereka melalui
tangan Rasul-Nya Muhammad. Mereka diusir hingga ke Khaibar.
Ayat yang mulia ini memberi
isyarat bahwa pengusiran mereka tidak hanya terjadi dalam peristiwa ini.
Rasulullah mengusir mereka sekali lagi dari Khaibar, kemudian juga di
masa pemerintahan ‘Umar yang mengeluarkan seluruh Yahudi dari jazirah
‘Arab.
Firman Allah : مَا ظَنَنْتُمْ (Kamu tiada menyangka), wahai kaum muslimin.
Dan: أَنْ يَخْرُجُوا (bahwa mereka akan keluar).
Yakni, keluar dari rumah mereka karena kuatnya benteng pertahanan mereka dan mereka merasa mulia di dalamnya.
Firman Allah :
وَظَنُّوا أَنَّهُمْ مَانِعَتُهُمْ حُصُونُهُمْ مِنَ الله
(dan merekapun yakin, bahwa benteng-benteng mereka akan dapat mempertahankan mereka dari (siksaan) Allah).
Artinya, kuatnya pertahanan
mereka ini membuat mereka bangga dan hal ini justru menipu mereka.
Mereka merasa tidak akan mungkin bisa dikalahkan dan tidak ada satupun
yang sanggup menghadapi mereka. Padahal kekuasaan Allah ada di balik itu
semua. Benteng mereka sama sekali tidak dapat melepaskan diri mereka
dari adzab Allah dan kekuatan pertahanan mereka tidak berguna sedikitpun
bagi mereka.
Karena itulah Allah menyatakan:
فَأَتَاهُمُ اللهُ مِنْ حَيْثُ لَمْ يَحْتَسِبُوا
(maka Allah mendatangkan kepada mereka (hukuman) dari arah yang tidak mereka sangka-sangka).
Tidak pernah terbetik dalam pikiran mereka bahwa mereka akan didatangi dari arah tersebut.
Firman Allah :
وَقَذَفَ فِي قُلُوبِهِمُ الرُّعْبَ
(Dan Allah membenamkan ketakutan ke dalam hati mereka).
Yaitu rasa takut yang sangat
hebat dan rasa takut ini merupakan tentara Allah paling besar, yang
tidak mungkin dilawan dengan jumlah dan persenjataan sebesar apapun.
Tidak mungkin dihadapi oleh kekuatan dan kehebatan yang bagaimanapun.
Adapun yang mereka anggap
kalaupun kekalahan menimpa mereka dari arah tertentu, maka itu tidak
lain adalah dari benteng pertahanan mereka. Mereka merasa tenteram
dengan kekokohannya. Padahal, siapa yang mempercayakan sepenuhnya kepada
selain Allah, dia pasti akan terhina. Dan siapa yang bersandar kepada
selain Allah pasti hal itu menjadi bencana terhadapnya.
Maka datanglah ketetapan dari
langit yang menerpa hati sanubari mereka yang sebetulnya merupakan lahan
keteguhan dan kesabaran atau kelemahan. Maka Allah lenyapkan kekuatan
dan kekokohan hati itu, lalu membiarkan kelemahan dan ketakutan bertahta
di dalamnya sehingga tidak ada lagi tipu daya serta kekuatan sehingga
keadaan ini justru menjadi kemenangan kaum mukminin atas mereka.
Oleh karena itulah Allah menyatakan:
يُخْرِبُونَ بُيُوتَهُمْ بِأَيْدِيهِمْ وَأَيْدِي الْمُؤْمِنِينَ
(mereka memusnahkan rumah mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan orang-orang yang beriman).
Semua itu adalah karena mereka
pernah mengadakan kesepakatan dengan Nabi bahwa mereka boleh membawa
barang-barang yang dapat diangkut seekor unta. Sebab itulah mereka
menghancurkan atap-atap rumah yang mereka anggap masih baik. Mereka
berikan keleluasaan bagi kaum mukminin akibat kejahatan mereka sendiri
untuk menghancurkan rumah dan benteng-benteng mereka. Dengan demikian,
sesungguhnya mereka sendirilah yang berbuat jahat terhadap diri mereka.
Jadilah mereka sendiri yang mempunyai andil besar dalam kekalahan dan
kehinaan tersebut.
Firman Allah :
فَاعْتَبِرُوا يَا أُولِي اْلأَبْصَارِ
(Maka ambillah (peristiwa itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai pandangan).
Artinya, bashirah yang tajam,
akal yang sempurna. Karena sesungguhnya di dalam kejadian ini terdapat
pelajaran yang membantu mengenal bagaimana Allah berbuat terhadap
orang-orang yang keras kepala dan menentang kebenaran (Al-Haq), serta
mengikuti hawa nafsunya. Di mana tidak berguna lagi kemuliaan mereka.
Kekuatan mereka pun tidak mampu menolong mereka, bahkan benteng mereka
tidak dapat melindungi mereka sedikitpun ketika datang kepada mereka
keputusan Allah. Hukuman atas dosa-dosa mereka pun menimpa mereka.
Pelajaran (hukum) yang diambil berdasarkan keumuman lafadz suatu nash (ayat atau hadits) bukan berdasarkan sebab yang khusus.
Sehingga, dapat dipahami bahwa ayat yang mulia ini merupakan alasan (dalil) adanya perintah untuk melakukan i’tibar
(perbandingan, mengambil pelajaran). Termasuk di sini menilai suatu hal
dengan hal yang semisal dengannya, atau menganalogikan (kias) suatu
perkara kepada yang menyerupainya, juga memikirkan makna-makna dan hukum
yang terdapat di dalam ketetapan-ketetapan tersebut. Di sinilah tempat
berperannya akal dan pikiran. Melalui hal ini, pemahaman akan semakin
bertambah, bashirah semakin terang, dan iman juga semakin meningkat.
Selanjutnya, pemahaman yang hakikipun akan dapat diperoleh.
Kemudian Allah menerangkan
bahwa orang-orang Yahudi ini tidaklah merasakan semua hukuman yang
pantas mereka terima. Artinya, Allah sesungguhnya telah memberi
keringanan bagi mereka.
Seandainya bukan karena Allah
telah menetapkan pengusiran terhadap mereka dan menentukan takdir yang
sama sekali tidak dapat diganti dan berubah, tentulah ada perkara lain
berupa adzab dunia yang akan mereka rasakan. Akan tetapi mereka,
–meskipun tidak mengalami adzab yang berat di dunia– sesungguhnya mereka
di akhirat telah disediakan adzab neraka yang tidak satupun mengetahui
kedahsyatannya kecuali Allah .
Sama sekali tidak pernah
terlintas dalam pikiran mereka bahwa hukuman mereka telah selesai dan
tidak ada lagi yang tersisa. Karena siksaan yang Allah sediakan bagi
mereka di akhirat jauh lebih berat dan lebih mengerikan. Semua ini
adalah karena mereka telah menentang Allah dan Rasul-Nya. Mereka
memusuhi dan memerangi Allah dan Rasul-Nya, bahkan bersegera dalam
mendurhakai Allah dan Rasul-Nya. Demikianlah sunnatullah (ketetapan Allah) terhadap orang-orang yang menentang-Nya.
Firman Allah :
وَمَنْ يُشَاقِّ اللهَ فَإِنَّ اللهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
(Barangsiapa menentang Allah, maka sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya).
Artinya, tatkala orang-orang
Yahudi Bani Nadhir mencela Rasulullah dan kaum mukminin yang menebang
pohon-pohon kurma, bahkan menuduh mereka berbuat kerusakan, mereka
merasa mendapat jalan untuk mengecam kaum muslimin. Maka Allah
menerangkan bahwa penebangan pohon-pohon kurma ataupun membiarkannya
tetap tumbuh adalah dengan seizin Allah dan perintah-Nya, وَلِيُخْزِيَ
الْفَاسِقِينَ (dan karena Dia hendak memberikan kehinaan kepada orang-orang fasik).
Artinya, di sini Allah
memberikan kekuasaan kepada kaum mukminin untuk menebang dan membakar
pohon-pohon tersebut agar menjadi hukuman dan kehinaan bagi mereka di
dunia. Kemudian, dengan tindakan ini dapat diketahui betapa sempurnanya
kelemahan mereka yang sama sekali tidak mampu menyelamatkan pohon-pohon
kurma itu yang merupakan modal kekuatan mereka.
Firman Allah : لِينَةٍ adalah kata yang meliputi semua pohon kurma menurut pendapat yang paling tepat dan lebih utama.
Inilah keadaan Bani Nadhir.
Lihatlah bagaimana Allah menghukum mereka di dunia, kemudian menerangkan
tentang kepada siapa jatuhnya semua harta benda dan kekayaan mereka.
Allah berfirman:
وَمَا أَفَاءَ اللهُ عَلَى رَسُولِهِ مِنْهُمْ
(Dan apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya (dari harta benda) mereka), yakni dari Bani Nadhir .
Sesungguhnya kalian wahai kaum muslimin untuk mendapatkan itu sama sekali,
مَا أَوْجَفْتُمْ عَلَيْهِ مِنْ خَيْلٍ وَلاَ رِكَابٍ
(kamu tidak mengerahkan seekor kudapun dan (tidak pula) seekor untapun).
Maksudnya, kalian wahai
muslimin sama sekali tidak harus bersusah payah memperolehnya, dengan
mengerahkan jiwa raga dan kendaraan kalian. Allah telah melemparkan rasa
takut yang sangat hebat ke dalam hati mereka, hingga akhirnya mereka
datang menyerah kepada kalian. Karena itulah Allah berfirman:
وَلَكِنَّ الله يُسَلِّطُ رُسُلَهُ عَلَى مَنْ يَشَاء وَاللهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
(tetapi Allah yang memberikan kekuasaan kepada Rasul-Nya terhadap
siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu).
Sebagai kesempurnaan
kodrat-Nya, maka tidak ada satupun yang dapat menghalangi-Nya dan tidak
ada satupun kekuatan yang dapat mengalahkan-Nya.
Al Fai-i menurut
istilah para ulama ahli fikih adalah harta orang-orang kafir yang
diambil dengan alasan yang haq (benar) tanpa melalui pertempuran.
Seperti harta (Bani Nadhir ) ini, di mana mereka lari dan
meninggalkannya karena takut kepada kaum muslimin. Dan harta ini
dinamakan fai-i. Karena harta ini berpindah dari tangan
orang-orang kafir yang tidak berhak, kepada kaum muslimin yang lebih
berhak dan hukumnya berlaku secara umum.
Wallahu A’lam. Insya Allah bersambung (Perang Dzatu Riqa’).
[1]
Ini berdasarkan keterangan Ibnu Syihab Az-Zuhri dan Al-Imam Al-Bukhari t
yang menyatakan bahwa perang Bani Nadhir ini terjadi 6 bulan sesudah
perang Badr Al-Kubra. Dan ini adalah kekeliruan Az-Zuhri, atau kesalahan
orang yang menukil dari beliau. Ibnul Qayyim dalam Zaadul Ma’ad
(3/249) menerangkan: “Tidak syak lagi bahwa peristiwa ini terjadi
setelah perang Uhud. Adapun yang terjadi setelah perang Badr adalah
perang Bani Qainuqa’. Jadi, peperangan Rasulullah melawan Yahudi
terjadi empat kali, yang pertama dengan Bani Qainuqa’ yaitu setelah
Badr, yang kedua dengan Bani Nadhir setelah perang Uhud, yang ketiga
dengan Bani Quraizhah setelah peristiwa Khandaq, dan keempat dengan
Yahudi Khaibar setelah peristiwa Hudaibiyah. Wallahu a’lam.
sumber : http://www.salafy.or.id/perang-bani-nadhir/
ٱلْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ
ٱلْعَٰلَمِين
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih telah berkunjung dan silahkan berkomentar..
semoga bermanfaat