Definisi Qiyadah Wal Jundiyah
Qiyadah wal Jundiyah merupakan suatu term –istilah- yang sangat familiar bagi mereka yang hidup dan berinteraksi dalam jama’ah. Qiyadah secara bahasa adalah: “Qaada – Yaquudu – Qaudan – Qiyaadatan – Qawwadan – Iqtaada: menuntun,sedang berjalan di mukanya. Hal ini berarti Qiyadah adalah seorang pemimpin yang bertugas menuntun siapa saja yang dipimpinnya. Sedangkan Jundi secara bahasa adalah berasal dari kata: “Jundun (Junuudun)” yang berarti tentara/serdadu. Qiyadah wal Jundiyah adalah sesuatu yang tak bisa dipisahkan. Dimana ada seorang pemimpin pastilah ada yang orang yang dipimpinnya. Pun demikian dengan pemimpin yang hebat akan selalu disokong oleh pasukan-pasukan yang juga hebat yang berada dibelakangnya.
Allah sangat menyukai orang-orang yang berjama’ah membentuk suatu bangunan yang kokoh. Seperti yang tertuang dalam Al-Qur’an surat Ash-Shaff ayat 4 yang artinya “Sesungguhnya Allah menyukai orang yang berperang dijalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh”. Untuk hal itu maka sangat urgen bagi kita dalam berjuang membentuk barisan dalam jama’ah yang kokoh.
Ada beberapa Hadist yang menunjukkan betapa pentingnya suatu kepemimpinan dalam ummat islam dalam segala urusan. Hadist tersebut antara lain yang pertama adalah: “Tidak halal bagi tiga orang yang sedang berada di sebuah perjalanan kecuali salah seorang diantara mereka menjadi pemimpinnya” (HR. Ahmad). Hadist tersebut menggambarkan bahkan dalam hal sekecil sebuah perjalanan antara tiga orang pun harus ada yang memimpin, apalagi urusan yang lebih besar yang tentunya lebih banyak orang pula. Hadist yang kedua adalah yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim yang berbunyi: “Imam (penguasa) adalah pemimpin dan ia bertanggung jawab atas yang dipimpinnya”. Artinya adalah seorang pemimpin memiliki tanggung jawab yang besar terhadap yang dipimpinnya.
Adapula hadist yang menerangkan tentang Jundi seperti yang diriwayatkan oleh Muslim yang berbunyi: “Barang siapa yang melepaskan tangannya dari ketaatan kepada imamnya maka ia pada hari kiamat tidak memiliki hujjah”. Hadist ini menerangkan bahwa seorang jundi yang telah memba’iat diri kepada pemimpinnya memiliki kewajiban untuk mentaati perintah pemimpinnya, bahkan apabila seorang jundi tidak mentaati perintah pemimpinnya ancamannya adalah ketika hari kiamat tidak akan memiliki hujjah.
Adab Terhadap Qiyadah
Seorang Qiyadah/ Pemimpin jama’ah memiliki hak-hak tertentu yang harus dipenuhi oleh para Jundinya. Seperti bagaimana cara bersikap apabila berinteraksi dengan Qiyadah dan itu harus dimiliki oleh setiap Jundi yang ada dalam jama’ah.
Adab-adab tersebut antara lain adalah Ta’at, Tsiqoh, Iltizzam, Ihtirom.
- Ta’at
- Tsiqoh
- Iltizzam
- Ihtirom
Selain keempat hal diatas ada satu perkara yang tidak boleh dilupakan yaitu senantiasa mengingatkan apabila pada suatu waktu Qiyadah kita melakukan kesalahan dan kekhilafan. Tentunya kita mengingatkan dengan cara yang ahsan dan tidak didepan umum agar martabat, wibawa dan izzah Qiyadah tetap terjaga dan tidak terlecehkan didepan orang lain.
Membangun Ketsiqohan Kepada Qiyadah
Tentunya sebagai seorang jundi haruslah mentaati perintah dan aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh sang Qiyadah. Dalam mentaati perintah diperlukan sikap dan kadar ketsiqohan yang tinggi yang harus dimiliki seorang Jundi terhadap Qiyadahnya. Sikap tsiqoh ini tak lain adalah bentuk ketaatan dan kesetiaan terhadap apa yang menjadi ketentuan yang diberikan oleh Qiyadah kepada para Jundinya.
Tentunya tsiqoh dalam hal ini bukan berarti taqlid buta terhadap segala apa yang diperintahkan. Karena Qiyadah tentunya adalah seorang manusia biasa yang sangat dekat sekali dengan perbuatan salah dan khilaf. Maka sebagai Jundi juga harus senantiasa mengingatkan dengan cara yang ahsan apabila dalam beberapa hal sang Qiyadah dirasa melakukan kekhilafan-kekhilafan yang barangkali tak disadarinya.
Kita semua harus memahami bahwa Qiyadah bisa jadi bukanlah orang yang paling kuat, bukanlah orang paling benar, dan juga bukan orang yang paling bertakqwa diantara kita. Yang harus kita lakukan adalah cukup dengan mempercayainya bahwa pemimpin kita adalah orang yang bisa mengemban tugas amanah kepemimpinan dengan baik. Jika pun ada seseorang lainnya diantara kita yang barangkali memiliki kemampuan lebih dibandingkan Qiyadah kita maka cukuplah kelebihan itu digunakan untuk mendukung kerja-kerja Qiyadah dan bukan malah menjadi pembenaran untuk melakukan persaingan atau bahkan perlawanan terhadap Qiyadah kita.
Barangkali sebuah contoh yang bisa diambil ibrohnya adalah dialog antara Umar Bin Khattab dengan Abu Bakar Ash Shidq sepeninggal Rasulullah SAW: “Umar berkata kepada Abu Bakar, ‘Ulurkanlah tanganmu, aku akan membai’atmu.’ Abu Bakar berkata, ‘Akulah yang membai’atmu.’ Umar berkata, ‘Kamu lebih utama dariku.’ Abu Bakar lalu berkata, ‘Kamu lebih kuat dariku.’ Setelah itu Umar ra berkata, ‘Kekuatanku kupersembahkan untukmu karena keutamaanmu.’ Umar pun terbukti benar-benar menjadikan kekuatannya sebagai pendukung Abu Bakar sebagai kholifah”.
Imam syahid Hasan Al Banna mengatakan: ‘Wahai ikhwan, angkatlah menjadi pemimpin orang yang paling lemah di antara kalian. Kemudian dengarlah dan taatilah dia. Dengan (bantuan) kalian, ia akan menjadi orang yang paling kuat di antara kalian’. Perkataan dari Hasan Al Banna menjelaskan bahwa seorang pemimpin itu bisa jadi adalah orang yang paling lemah diantara jama’ah. Namun kepercayaan dan ketaatan dari para jundi terhadap pemimpinnya bisa menjadikan pemimpin tersebut orang yang paling kuat diantaranya.
Ada keteladanan dan suatu kebesaran hati seorang Umar Bin Khattab r.a yang berbeda pendapat dengan Khalifah Abu Bakar Ash Shidq terkait tentang sikap terhadap orang yang tidak mau mengeluarkan zakat. Umar bin Khattab berpendapat bahwa mereka yang tidak mau mengeluarkan zakat tidaklah harus diperangi, dan pendapat Umar ini banyak didukung oleh para sahabat lainnya. Namun, khalifah Abu Bakar Ash-Shidq beranggapan bahwa mereka yang tidak mau mengeluarkan zakat haruslah diperangi. Mengetahui keputusan Abu Bakar Ash-Shidq untuk memerangi orang yang tidak mau mengeluarkan zakat maka Umar Bin Khattab berkata: “Demi Allah, tiada lain yang aku pahami kecuali bahwa Allah telah melapangkan dada Abu Bakar untuk memerangi mereka, maka aku tahu bahwa dialah yang benar”.
Perkataan dari Umar Bin Khattab menunjukkan sikap ketsiqohan yang luar biasa yang ditunjukkan kepada keputusan Abu Bakar Ash-Shidq sebagai khalifahnya. Walaupun bisa saja Umar menentang kebijakan sang Qiyadah karena didukung oleh sahabat-sahabat lainnya dan ditambah dengan Rasulullah SAW pun pernah bersabda bahwa: “Allah swt telah menjadikan al haq (kebenaran) pada lisan dan hati Umar”. Disaat Umar Bin Khattab memiliki kesempatan dan dalil kuat untuk tidak mengikuti dan menentang keputusan Abu Bakar Ash Shidq. Umar lebih memilih untuk tetap mentaati keputusan Abu Bakar Ash-Shidq selaku khalifah pada saat itu.
Terus terang, pasti banyak dari diri-diri kita yang mengaku kader dakwah yang berada dalam jama’ah seringkali merasakan yang namanya berbeda pendapat atau bahkan berseberangan dengan arahan dan pikiran dari Qiyadah kita, dan itu adalah hal yang biasa terjadi dalam kehidupan bersosial sekalipun.
Yang biasanya sering terjadi adalah ketika Qiyadah kita memberikan sebuah amanah kepada kita sebagai Jundi, namun kita merasa tidak bisa, tidak mampu, atau bahkan tidak mau dengan alasan ada tempat/ amanah yang lebih pas dengan dunianya menyebabkan kita seringkali menolak atau minimal menggerutu kepada Qiyadah.
Namun mungkin ada juga seorang Qiyadah yang kurang cermat dalam menempatkan dan mengamanahkan para Jundinya sehingga hal ini bisa berpotensi menyebabkan kerja-kerja dakwah menjadi tidak maksimal karena Jundi yang diamanahkan kurang pas dengan kompetensinya. Syech Mustafa Masyhur dalam Al Qiyadah Wal Jundiyah menyebutkan bahwa salah satu yang harus dimiliki seorang Qiyadah adalah harus pandai memilih orang yang layak dalam mengemban amanah/ jabatan.
Bagaimana cara untuk mengatasi agar tidak terjadi “kesalahan” dalam menempatkan Jundi dalam beramanah?. Jawabannya adalah mengkomunikasikan segala hal-hal yang berkaitan dengan amanah yang akan diberikan kepada Jundi yang akan diberi amanah. Qiyadah harus bisa mengetahui apa yang sebenarnya dikehendaki oleh Jundi dengan cara mendengarkannya, mengajaknya bicara, bukan dengan gaya semi-diktator mentaklimat ini-itu.
Jika Qiyadah mau memberikan instruksi untuk kepada Jundi untuk menempati sebuah posisi dalam beramanah harus terlebih dahulu mengkomunikasikannya dengan posisi sedang dalam menawarkan, bukan serta merta langsung memerintahkan. Sebaliknya, jika Jundi masih merasa ada suatu hal yang perlu dikomunikasikan, misalnya merasa kurang pas dengan amanah yang ditawarkan karena ada bidang lain yang sesuai dengan kompetensinya, itu harus dikomunikasikan dengan Qiyadah.
Jangan pernah sesekali menerima amanah dari Qiyadah sedangkan kita tidak ikhlas tetapi tidak mengkomunikasikannya, lalu dalam perjalanan amanah merasa tidak kuat dan merasa terdzolimi yang akhirnya menyebabkan kefuturan dalam berjama’ah. Itulah realitas yang sering terjadi ditengah-tengah kita para kader dakwah. Apapun alasannya Jundi tetap harus mengkomunikasikan kepada Qiyadah ataupun sebaliknya. Semua demi kemasylahatan bersama dan demi maksimalnya kerja-kerja dakwah yang ditugaskan. Jika semua telah dikomunikasikan, tetapi keinginan Qiyadah tetap tidak sejalan dengan keinginan Jundi maka sebagai seorang Jundi sudah seyogyanya menta’ati perintah dan arahan dari Qiyadah selama itu untuk kebaikan.
Kita sebagai Jundi harus camkan dalam-dalam bahwa seorang Qiyadah bukanlah malaikat yang tidak bisa melakukan kesalahan dan kekhilafan. Biar bagaimanapun Qiyadah kita adalah seorang manusia biasa yang tak akan pernah luput dari kesalahan yang bisa saja diperbuatnya baik itu sengaja ataupun tidak disengaja. Tugas seorang Jundi adalah mengingatkan Qiyadahnya apabila melakukan kekhilafan dengan cara dan adab-adab yang berlaku terhadap Qiyadah. Logika yang juga harus dibangun oleh seorang Qiyadah adalah menyadari bahwa dirinya bukanlah orang yang paling benar sehingga jika ada Jundi yang mengingatkan bisa menerima dengan lapang dada. Namun apabila terjadi perbedaan pendapat antara Qiyadah dan Jundinya terhadap suatu perkara maka sikap Tsiqoh kepada pemimpin tetap yang lebih utama.
Intermezzo
Ana yakin masih banyak saudara-saudara ana yang masih “terjebak” dalam kebingungan memahami tsiqoh, termasuk ana pribadi sich (hahaha ). Ana masih bingung sampai mana batas Tsiqoh yang harus dimiliki Jundi kepada Qiyadahnya. Karena seringkali sebagai Jundi, ana masih dibuat bertanya-tanya dan tak habis pikir dengan keputusan yang diambil Qiyadah. Tetapi ana masih tetap berusaha membawanya ke satu muara yaitu “Sami’na Wa Atho’na”
Sumber : http://inicoretanku.wordpress.com/2013/01/22/untukmu-wahai-qiyadah-wal-jundiyah/
ٱلْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ
ٱلْعَٰلَمِين
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih telah berkunjung dan silahkan berkomentar..
semoga bermanfaat