Dalam kehidupan ini, terkadang
manusia mengalami ketidaksabaran dan kemarahan. Terutama pada saat seseorang
merasa ada gangguan yang menimpanya. Atau ketika ingin membalas gangguan yang
telah menimpanya. Baik berkaitan dengan hati, badan, harta, kehormatan, atau
lainnya.
Dan kemarahan itu sering menimbulkan
perkara-perkara negatif, berupa perkataan maupun perbuatan yang haram.
Tetapi sesungguhnya tidaklah
semua kemarahan itu tercela, bahkan ada yang terpuji.
MARAH YANG TERCELA
Seseorang yang marah karena
perkara-perkara dunia, maka kemarahan seperti ini tercela. [1]
Oleh karenanya Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam menasihati seseorang dengan berulang-ulang supaya
tidak marah.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, bahwa seorang laki-laki berkata
kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam,“Berilah wasiat kepadaku.” Nabi
menjawab,“Janganlah engkau marah.” Laki-laki tadi mengulangi perkataannya
berulang kali, beliau (tetap) bersabda,“Janganlah engkau marah.” [HR Bukhari
no. 6116]
Maka jika seseorang ditimpa
kemarahan, jangan sampai kemarahan itu menguasai dirinya. Karena jika telah
dikuasai oleh kemarahan, maka kemarahan itu bisa menjadi pengendali yang akan
memerintah dan melarang kepada dirinya!
Janganlah melampiaskan kemarahan.
Karena kemarahan itu sering menyeret kepada perkara yang haram. Seperti :
mencaci, menghina, menuduh, berkata keji, dan perkataan haram lainnya. Atau
memukul, menendang, membunuh, dan perbuatan lainnya.
Tetapi hendaklah mengendalikan
diri dan emosinya agar tidak melampiaskan kemarahan, sehingga keburukan
kemarahan itu akan hilang. Bahkan kemarahan akan segera reda dan hilang.
Seolah-olah tadi tidak marah. Sifat seperti inilah yang dipuji oleh Allah dan
Rasul Nya.
Allah Subhanahu wa Ta'ala
berfirman,
Yang artinya :
Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Rabbmu dan kepada surga yang
luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa,
(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun
sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang.
Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. [Ali Imran : 133-134]
Juga firmanNya,
Yang artinya : Maka sesuatu
apapun yang diberikan kepadamu, itu adalah kenikmatan hidup di dunia; dan yang
ada pada sisi Allah lebih baik dan lebih kekal bagi orang-orang yang beriman,
dan hanya kepada Rabb mereka, mereka bertawakkal dan (bagi) orang-orang yang
menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan-perbuatan keji, dan apabila mereka marah
mereka memberi ma'af. [Asy Syura : 36-37].
Demikian juga orang yang mampu
mengendalikan emosinya itu dipuji oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
dan dijanjikan dengan bidadari surga.
Dari Abdullah bin Mas’ud, dia berkata, Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam bersabda,“Siapakah yang kamu anggap sebagai shura’ah (orang kuat,
jago gulat, orang yang banyak membanting orang lain)?” Kami menjawab,“Seseorang
yang tidak dapat dijatuhkan oleh orang lain.” Beliau bersabda,“Bukan itu,
tetapi shura’ah yaitu orang yang dapat menguasai dirinya ketika marah.” [HR
Muslim no. 2608].
Beliau Shallallahu 'alaihi wa
sallam juga bersabda,
Barangsiapa menahan kemarahan, padahal mampu melampiaskannya, niscaya
pada hari kiamat Allah ‘Azza Wa Jalla akan memanggilnya di hadapan seluruh
makhluk, sehingga Allah memberinya hak memilih di antara bidadari surga yang
dia kehendaki. [2]
Untuk mengatasi kemarahan yang
menimpa seseorang, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah memberikan
resep-resep pengendaliannya. Dapat kami sebutkan secara ringkas. [3]
Quote:Pertama : Mengucapkan ta’awudz (mohon
perlindungan kepada Allah dari gangguan syaithan).
Kedua : Diam, tidak berbicara.
Ketiga. : Jika dia berdiri, hendaklah
duduk. Jika belum reda, hendaklah berbaring.
Syaikh Muhammad Nadhim Sulthan berkata, [i]“Kemarahan tercela adalah
kemarahan pada selain al haq, tetapi mengikuti hawa N4FSU, dan seorang hamba
yang melewati batas dengan perkataannya, dengan mencela, menuduh, dan menyakiti
saudara-saudaranya dengan kalimat-kalimat menyakitkan. Sebagaimana dia melewati
batas dalam kemarahannya dengan perbuatannya, lalu memukul dan merusak harta-benda
orang lain.” [4][/i]
Jika kita telah mengetahui hal
ini, maka marilah menengok bersama terhadap panutan dan tauladan kita, Nabi
Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Bahwa Beliau Shallallahu 'alaihi wa
sallam memiliki kesabaran luar biasa yang layak untuk kita contoh.
Perhatikanlah perkataan Anas bin Malik di bawah ini.
Dari Tsabit, dia berkata, Anas Radhiyallahu 'anhu bercerita kepada
kami, dia berkata, “Aku menjadi pembantu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam selama sepuluh tahun, beliau tidak pernah berkata kepadaku,’huh’. Juga
tidak pernah mengatakan kepadaku (ketika aku melakukan sesuatu),’Kenapa engkau
melakukan?’ Dan tidak pernah mengatakan kepadaku (ketika aku tidak melakukan
sesuatu),’Tidakkah engkau melakukan?’.” [5].
MARAH YANG TERPUJI
Marah yang terpuji adalah
kemarahan karena Allah, karena al haq, dan untuk membela agamaNya. Khususnya
ketika perkara-perkara yang diharamkan Allah dilanggar. [6]
Imam Ibnu Rajab Al Hambali t
berkata, “Kewajiban atas seorang mukmin (yaitu) agar syahwatnya (kesenangannya)
terbatas untuk mencari apa yang dibolehkan oleh Allah baginya. Hendaklah meraih
syahwat yang dibolehkan tersebut dengan niat yang baik, sehingga mendapatkan
pahala. Dan hendaknya kemarahan seorang mukmin itu untuk menolak gangguan dalam
agama yang menimpanya atau menimpa orang lain dan untuk menghukum orang-orang
yang bermaksiat kepada Allah dan RasulNya.
Allah Subhanahu wa Ta'ala
berfirman,
Perangilah mereka, niscaya Allah akan menyiksa mereka dengan
(perantaraan) tangan-tanganmu dan Allah akan menghinakan mereka dan menolong
kamu terhadap mereka, serta melegakan hati orang-orang yang beriman, dan
menghilangkan panas hati orang-orang mu'min. [At Taubah : 14-15].” [7]
Jika kita telah mengetahui hal di
atas, maka hendaklah kita tahu bahwa begitulah keadaan Nabi Shallallahu 'alaihi
wa sallam. Yaitu beliau tidaklah membalas dengan hukuman untuk (membela)
dirinya, tetapi beliau membalas dengan hukuman jika perkara-perkara yang
diharamkan Allah dilanggar.
Dari ‘Aisyah Radhiyallahu 'anha, dia berkata,“Tidaklah Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam disuruh memilih di antara dua perkara sama
sekali, kecuali beliau memilih yang paling mudah di antara keduanya, selama hal
itu bukan merupakan dosa. Jika hal itu merupakan dosa, maka beliau adalah
manusia yang paling jauh dari dosa. Dan tidaklah beliau membalas dengan hukuman
untuk (membela) dirinya di dalam sesuatu sama sekali. Kecuali jika
perkara-perkara yang diharamkan Allah dilanggar, maka beliau akan membalas
dengan hukuman terhadap perkara itu karena Allah.” [8]
Demikian juga beliau tidak pernah
memukul pembantu atau seseorang, kecuali jika berjihad di jalan Allah.
Dari ‘Aisyah Radhiyallahu 'anha, dia berkata,“Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam tidak pernah sama sekali memukul sesuatu dengan tangannya,
juga tidak pernah memukul wanita (istri), dan tidak pernah memukul seorang
pembantu. Beliau memukul jika berjihad di jalan Allah. Dan tidaklah beliau
disakiti dengan sesuatu sama sekali, lalu beliau membalas terhadap pelakunya.
Kecuali jika ada sesuatu di antara perkara-perkara yang diharamkan Allah
dilanggar, maka beliau akan membalas dengan hukuman karena Allah ‘Azza Wa
Jalla.” [9]
‘Aisyah Radhiyallahu anha pernah ditanya tentang akhlak Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka dia menjawab, “Aklhak Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam adalah Al-Qur’an” [10].
Imam Ibnu Rajab Al Hambali
rahimahullah berkata, “Yang dimaksudkan oleh ‘Aisyah Radhiyallahu 'anha yaitu,
bahwa beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam beradab dengan adab-adab Al Qur’an
dan berakhlak dengan akhlak-akhlak Al Qur’an. Apa saja yang dipuji oleh Al
Qur’an, maka itulah yang beliau ridhai (sukai). Dan apa saja yang dicela oleh
Al Qur’an, maka itulah yang beliau murkai.” [11]
Jika melihat atau mendengar apa
yang dimurkai Allah, maka beliau n marah karenanya, beliau berbicara
tentangnya, beliau tidak diam!
Di antara sebagian sikap beliau
tentang hal tersebut, ialah :
‘Aisyah Radhiyallahu 'anha
berkata.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam datang dari safar (bepergian), sedangkan aku telah menutupkan sebuah
tirai pada sebuah rak. Pada tirai itu terdapat gambar-gambar. [12]. Maka
setelah beliau melihatnya, lalu mencabut tirai tersebut dan bersabda,“Manusia
yang paling keras siksanya pada hari kiamat adalah orang-orang yang menyamai
(menandingi) ciptaan Allah.” [13] ‘Aisyah Radhiyallahu 'anha berkata,“Maka
tirai itu kami jadikan sebuah bantal atau dua bantal.” [14].
Abu Mas’ud Al Anshari
Radhiyallahu anhu berkata,
Seorang lelaki menghadap
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam lalu berkata,“Sesungguhnya aku
memperlambat shalat Shubuh disebabkan oleh Si Fulan (imam shalat) yang
memanjangkan shalat dengan kami.” Maka tidaklah aku melihat Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam marah dalam memberikan nasihat sama sekali yang lebih hebat
dari kemarahan beliau pada hari itu. Lantas beliau bersabda, “Wahai manusia,
sesungguhnya di antara kamu itu ada orang-orang yang membikin manusia lari
(dari agama)! Siapa saja di antara kamu yang mengimami orang banyak, maka
hendaklah dia meringkaskan. [15]. Karena sesungguhnya di belakangnya [16], ada
orang yang sudah tua, orang yang lemah, dan orang yang memiliki keperluan.”
[17]
Abdullah bin Umar berkata,
Bahwa Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam melihat ludah pada dinding kiblat (masjid), lalu beliau
membuangnya, kemudian menghadap kepada orang-orang dan bersabda,“Jika salah
seorang di antara kamu sedang shalat, maka janganlah meludah ke arah wajahnya,
karena sesungguhnya Alah di arah wajahnya jika dia sedang shalat.” [18].
Demikianlah, bahwa marah
merupakan tabi’at jiwa manusia. Sehingga tidaklah tercela ataupun terpuji,
kecuali dilihat dari sisi dampak dan niatnya. Wallahu a’lam bishshawwab.
ٱلْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ
ٱلْعَٰلَمِين
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih telah berkunjung dan silahkan berkomentar..
semoga bermanfaat